"Bukan aku takut menghadapi dunia itu, aku hanya takut pada kenyataan bahwa dulu aku bagian dari dunia itu"
Bandung, 28 September 2018.
Bagaimana aku bisa mempercayakan seluruh kehidupanku, masa depan ku, anak - anak ku pada satu orang yang bahkan tidak bisa menjaga kata - katanya. Pertanyaan itu selalu muncul setiap kali aku mengingat kejadian itu. Rasa sesak di dada yang sepertinya tidak akan hilang dalam waktu dekat, selalu datang seiring kenangan buruk yang terjadi hari itu. Acara yang seharusnya menyenangkan, penuh canda tawa, lepas dari segala tetek bengek "pekerjaan", berubah menjadi acara mengerikan yang akan membuat semua orang berfikir ulang tentang bagaimana aku sebenarnya.
Bukan aku seratus persen menyalahkanmu. Akupun salah karna mengizinkanmu bergabung dengan dunia itu. Tapi sejujurnya niatan hatiku adalah setidaknya kau dapat bernafas lega sejenak. Bersenang-senang. Tanpa aku. Tapi bukan berarti aku mengizinkan mu untuk membuka hati dan dirimu bagi sembarang orang!
Itu akan melukai hati ku. Bukan kah kau yang seharusnya paling mengerti aku?
Menyakitkan memang. Tapi apa kau paham apa yang paling menyakitkan dari semua ini? Kenyataan bahwa aku dulu merupakan bagian dari dunia sial ini, itu yang paling menyakiti hati ku. Ingin aku menangis, tapi apa guna? Kita tidak akan pernah bisa merubah masa lalu, meskipun aku sangat ingin, dan bahkan rela melakukan apapun untuk merubah masa lalu itu.
Tiap kali kau terlelap, hati ku menjerit, sisi ego dan sisi manusiawi ku bertarung. Entah mana yang paling benar. Aku hanya seorang istri yang serba kekurangan, yang mengharapkan kesempurnaan yang semu dengan harga yang terlampau murah.
Masih sempatkah aku menawar?
Menawar kemurahan hati mu untuk menerimaku apa adanya. Menawar untuk menenangkan ku setiap kali kau berbuat salah, kemudian aku marah dan mengatakan "Tidak apa-apa, aku memaafkan mu dan masa lalu mu. Kesalahan ku ini tidak ada sangkut paut nya dengan karma dari masa lalu atau hal bodoh apapun yang pernah kau lakukan dulu. Maafkan aku".
Haha.. ironis..
~ ~ ~
Part Two
Part Two
"Dan kekecewaan itu akhirnya menghampiri. Sebuah permintaan sederhana yang tak kan pernah mampu untuk ku penuhi. Sebuah pisau bermata dua, yang sedikit demi sedikit mencari celah diantara kita"
Tangerang, 27 Oktober 2018.
Malam itu adalah malam yang cukup menyenangkan. Aku tidur dipangkuanmu yang saat itu sedang seru memainkan permainan, dan anak kita sudah mulai terbuai terlelap dalam mimpi. Hujan yang turun menambah kesan damai bersamaan dengan rasa syukur atas setiap tetesnya.
Disela permainan yang engkau mainkan, sesekali ku kecup bibir hangat mu yang mulai mengoceh tidak karuan. Ku akui, kau terlihat sangat menggemaskan saat memainkan permainan. Ku nikmati setiap ekspresi yang kau luapkan. Senang. Marah. kesal. Senang lagi. Kesal lagi.
Ahh... Betapa hangat nya hati ku saat itu.
Lalu tanpa peringatan sebelumnya, kau ucapkan sebuah permintaan kepada ku. Hanya sebuah pengandaian, kau bilang. Sambil tersenyum, seakan malu sebenarnya untuk mengakui, kau jelaskan secara terperinci apa yang kau inginkan sebenarnya.
Tanpa tahu harus bereaksi seperti apa, aku tertawa. Padahal dalam hati aku ingin menangis.
Aku tahu. Betapa beruntungnya aku memiliki orang sepertimu yang mampu menerima semua kekurangan ku. Kekurangan yang mungkin banyak lelaki tidak ingin menanggungnya. Selama ini aku tahu, dibalik rasa syukur itu, aku masih merasa ragu. Akan kah suatu saat kekurangan ku menjadi alasan kepergian mu? Akan kah suatu saat kekurangan ku membuat mu merasa berhak untuk mencari nya dari sosok wanita lain?
Maaf. Hati yang mendua akan menjadi suatu beban yang tak kan mampu untuk ku pikul.
~ ~ ~
Part Three
Part Three
"Ketika kekosongan datang melanda, bersediakah kau jadi warna?"
Jakarta, 02 November 2018.
Sentuh aku.
Peluk aku.
Biarkan kehangatan tubuh mu menyerap menembus kulit ku.
Biarkan aku merasakan cinta yang tulus dari setiap sentuhan lembutmu.
Bisa kah?
Boleh kah?
Atau sudah tak ada ketertarikan yang tersisa?
~ ~ ~
No comments:
Post a Comment